by Sodikin
Nabi
Muhammad s.a.w. terkenal dengan keluhuran budi dan akhlaknya yang agung.
Sehingga kawan maupun lawan mengakui kebaikan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah
kisah diceritakan Al-Masur bin Mukhramah, keponakan Abu Jahal, anak dari
saudari perempuannya, bertanya kepada Abu Jahal tentang pribadi Rasulullah SAW.
“Wahai pamanku, apakah kalian
menuduh Muhammad itu berdusta sebelum ia mengatakan apa yang dia katakan
sekarang ini -yakni risalah kenabian-?”
“Wahai anak saudariku, demi
Allah! Sungguh sewaktu Muhammad masih seorang pemuda, ia digelari al-amin (yang
terpercaya) di tengah-tengah kami. Kami sama sekali tak pernah mencoba
menyebutnya berdusta.”, kata Abu Jahal.
Keponakannya kembali bertanya,
“Wahai paman, mengapa kalian tidak mengikutinya?”
Abu Jahal menjawab,
“Keponakanku, kami dan bani Hasyim selalu bersaing dalam masalah kemuliaan.
Jika mereka memberi makanan, kami juga memberi makanan. Jika mereka menjamu
dengan minuman, kami juga demikian. Jika mereka memberi perlindungan, kami juga
melakukannya. Sampai-sampai kami sama-sama duduk di atas hewan tunggangan untuk
berperang, kami (dan bani Hasyim) sama dalam kemuliaan. Kemudian mereka
mengatakan, “’Di kalangan kami ada seorang Nabi (Muhammad SAW)’. Kapan kabilahku
bisa menyamai kemuliaan ini?”
Inilah alasan Abu Jahal
menolak beriman. Bukan karena Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu berdusta. Tapi yang menghalanginya adalah kesombongan. Jika dia
beriman, berarti kabilahnya kalah dalam kemuliaan. Kabilahnya kalah gengsi
dengan bani Hasyim. Dan di zaman sekarang, alasan ini pula yang menjadi latar
belakang seseorang menolak kebenaran.
Di hari Perang Badar,
al-Akhnas bin Syuraiq bertanya kepada Abu Jahal, “Abul Hakam (sebutan Abu Jahal
di tengah kafir Quraisy), beritahu aku tentang Muhammad. Apakah ia orang yang
jujur atau pendusta? Karena di sini tak ada seorang Quraisy pun selain aku dan
engkau yang mendengar pembicaraan kita.”
Abu Jahal menjawab, “Celaka
engkau! Demi Allah, sungguh Muhammad itu seorang yang jujur. Dia sama sekali
tak pernah berbohong. Tapi, kalau anak-anak Qushay dengan al-liwa’ (mengatur
urusan perang), hijabah (memegang kunci Ka’bah dan pengaturannya), siqayah
(memberi jamaah haji minum), dan juga nubuwwah (kenabian), Quraisy yang lain
kebagian apa?” (Ibnul Qayyim, Hidayatul Hayara, Hal: 50-51).
Kisah ini dinukil dari kitab
Wa Syahida Syahidun min Ahliha oleh Raghib as-Sirjani. []
SUMBER: KISAHMUSLIM
No comments:
Post a Comment