Monday, March 4, 2019

BAGAIMANA Cara Rasulullah Berdakwah? Ini Tujuh Kode Etik Dakwah Rasulullah

 


Dakwah bukanlah penyampaian semata, tetapi moralitas dan perilaku. Dakwah untuk mengajak dalam kebaikan dan menjauhi kemaksiatan merupakan sikap terpuji dan mulia. Namun, semua tidak terlepas dari akhlak dan etika. Tidak hanya sekadar dakwah penyampaian saja. Sebagaimana Nabi s.a.w. saat ingin berbicara dan bersikap maka selalu menyesuaikan siapa dan dengan siapa berbicara dan bersikap. Almarhum kiyai Ali Mustafa Yaqub, pakar ilmu Hadis menjelaskan dalam buku beliau yang berjudul 'Sejarah dan Metode Dakwah Nabi' terkait kode etika Dakwah Nabi s.a.w. yang dapat kita tiru dan teladani.


1. Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan

Rasulullah s.a.w. tidak pernah memisahkan antara ucapan dan perbuatan. Ertinya, perintah dan larangan yang disampaikan dalam berdakwah berlaku juga untuk diri pendakwah itu sendiri. Etika dakwah seperti ini harus tertanam dalam hati para da’i, jika tidak maka dakwah tersebut tidak berhasil. Kerana sejatinya pendakwah adalah 'role model' dari apa yang mereka sampaikan. Sehingga para da’i memiliki integritas dakwah yang baik. Allah s.w.t. menegaskan hal ini dalam surat al-Shaff ayat 2-3 yang artinya:

A002
A003

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya! Amat besar kebenciannya di sisi Allah - kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya.”


2. Tidak Melakukan Toleransi Dalam Akidah

Toleransi atau tasamuh sangat dianjurkan, namun tidak dalam masalah akidah. Dahulu, ketika Nabi s.a.w. berada di Mekah, orang musyrikin mengajak berdiskusi atau kompromi keagamaan. Orang musyrikin mengajak Nabi s.a.w. untuk mengikuti agama mereka dan menyembah sesembahan mereka. Kemudian, orang musyrikin akan mengikuti agama yang dibawa Nabi s.a.w. dan menyembah Allah s.w.t. Mendengar tawaran dan ajakan tersebut, Nabi s.a.w. menjawab “Saya memohon perlindungan Allah s.w.t. agar tidak mempersekutukan Allah s.w.t. dengan yang lain”. 

Sebab itu, Allah s.w.t. menurunkan wahyu berupa surat al-Kafirun.


3. Tidak Mencerca Sesembahan Lawan

Etika dakwah tidak mencerca atau mencaci sesembahan agama lain juga sangat penting diperhatikan oleh para da’i. Tidak semena-mena mengatakan Tuhan agama lain itu sesat menyesatkan. Hal tersebut dikeranakan dapat menimbulkan kekecewaan umat selain muslim dengan mencerca balik Tuhan yang diimani oleh umat muslim atau bahkan dapat menimbulkan peperangan. Allah s.w.t. menegaskan dalam surat al-An’am ayat 108 yang artinya:


A108

Dan janganlah kamu cerca benda-benda yang mereka sembah yang lain dari Allah, kerana mereka kelak, akan mencerca Allah secara melampaui batas dengan ketiadaan pengetahuan. Demikianlah Kami memperelokkan pada pandangan tiap-tiap umat akan amal perbuatan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Ia menerangkan kepada mereka apa yang mereka telah lakukan.


4. Tidak Melakukan Diskriminasi

Allah s.w.t. tidak memperkenankan Nabi s.a.w. melakukan diskriminasi sosial dalam menjalankan dakwah. Tidak membeza-bezakan perlakuan dakwah untuk kaum elite dan kaum menengah ke bawah hanya kerana soal materi semata. Semua diperlakukan sama. Suatu hari, Nabi s.a.w. mengajarkan agama Islam kepada sahabat Nabi s.a.w. yang tergolong miskin seperti Khubab bin al-Aritt,’Abdullah bin Mas’ud dan Bilal al-Habsyi. Tiba-tiba datanglah para pemuka Quraisy seperti al-Arqa bin Habis al Tamimi dan ‘Uyaynah bin Hishn al-Fazari.

Pemuka Quraisy tadi meminta kepada Nabi s.a.w. untuk memisahkan tempat duduk mereka dengan sahabat yang miskin, kerana takut dilihat oleh para suku mereka. Akhirnya Nabi s.a.w. mengabulkan permintaan mereka dengan menulis suatu perjanjian. Nabi s.a.w. berpikir bahwa jika para pemuka Quraisy sudah masuk Islam maka suku Quraisy seluruhnya akan ikut masuk Islam. Lalu Bilal menjauh ke sudut ruangan sebelum Nabi s.a.w. menyuruhnya pergi. Allah s.w.t. kemudian menurunkan surat al-An’am ayat 52 yang artinya:

A052

“Dan janganlah engkau usir orang-orang yang beribadat dan berdoa kepada Tuhan mereka pagi dan petang, sedang mereka menghendaki keredaanNya semata-mata. Tiadalah engkau bertanggungjawab sesuatu pun mengenai hitungan amal mereka, dan mereka juga tidak bertanggungjawab sesuatu pun mengenai hitungan amalmu. Maka (sekiranya) engkau usir mereka, nescaya menjadilah engkau dari orang-orang yang zalim.”


Jangan sampai para da’i lebih mendahulukan tawaran untuk mengisi suatu pengajian di masjid yang para jamaahnya adalah orang kaya daripada mengisi pengajian yang jamaahnya adalah orang biasa sebab pemberian amplop ceramah yang jumlahnya lebih besar.


5. Tidak Memungut Imbalan

Dalam hal ini, ada perbezaan pendapat di kalangan ulama;

Pertama kalangan mazhab Hanafi, berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyiarkan ajaran Islam itu hukumnya haram secara mutlak. 

Kedua kalangan mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyebarkan ajaran Islam itu boleh baik sebelumnya ada perjanjian ataupun tidak. 

Terakhir iaitu pendapat dari Hasan al-Basri, al-Sya’bi dan Ibnu Sirin bahwa jika ada perjanjian sebelumnya untuk memungut imbalan maka itu diharamkan, namun jika tidak ada perjanjian sebelumnya kemudian orang yang mengajarkan agama Islam itu diberi imbalan maka hal itu hukumnya boleh.

Almarhum kiyai Ali Mustafa Yaqub menekankan dalam hal ini bahwa perbezaan ulama tersebut dalam hal menyebarkan ajaran Islam atau berdakwah, misalnya mengajarkan al-Qur’an, Fikih, Hadis. Sedangkan, jika hanya membacakan al-Quran saja, bukan mengajarkannya maka para ulama sepakat haram hukumnya memungut imbalan. Alasannya, dalam mengajarkan agama Islam ada unsur jasa mentransfer ilmu, sedangkan dalam membaca al-Qur’an saja unsur tersebut tidak ada. Jadi, membaca al-Quran benar-benar merupakan ibadah murni kepada Allah s.w.t. seperti halnya salat.


6. Tidak Mengawani Pelaku Maksiat

Etika yang tak kalah penting dalam berdakwah iaitu tidak mengawani pelaku maksiat, atau menjadikannya sahabat. Kerana jika pelaku maksiat dijadikan sahabat atau teman baik maka secara tidak langsung kita sama saja dengan membolehkan perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Lalu, siapa lagi yang akan memberikan nasihat kepada para pelaku maksiat ini supaya berhenti? Konteks mengawani dengan mendakwahi itu berbeza. Mereka tetap didakwahi untuk berhenti dari maksiat namun tidak diperlakukan khusus kecuali setelah mereka bertaubat.

Nabi s.a.w. mengemukakan bahawa para ulama yang berkawan baik dengan para pelaku maksiat dan para pelaku dosa lagi melampaui batas akan dilaknat oleh Allah s.w.t.. Nabi s.a.w. menceritakan kisah di surat al-Maidah ayat 78-79 tentang para ulama di kalangan Bani Israil yang dilaknat oleh Allah s.w.t. kerana ikut serta bergaul dengan para pelaku dosa. Awalnya ulama tersebut melarang pelaku dosa kaum Bani Israil tetapi mereka tidak mahu meninggalkan perbuatan dosanya dan akhirnya para ulama ini mengakrabi para pelaku dosa dan akhirnya baik para ulama dan pelaku dosa semuanya dilaknat Allah s.w.t.. Para da’i harus memiliki sikap tegas dan tegar dalam berdakwah seperti yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w..

A078
A079

"Orang-orang kafir Yahudi dari Bani Israil telah dilaknat (di dalam Kitab-kitab Zabur dan Injil) melalui lidah Nabi Daud dan Nabi Isa ibni Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka menderhaka dan selalu menceroboh. Mereka sentiasa tidak berlarang-larangan (sesama sendiri) dari perbuatan mungkar (derhaka dan ceroboh), yang mereka lakukan. Demi sesungguhnya amatlah buruknya apa yang mereka telah lakukan."


7. Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui

Para da’i tidak boleh menyampaikan sesuatu yang tidak diketahuinya kerana dapat menyesatkan. Jika ditanya suatu perkara atau masalah maka lebih baik menjawab “tidak tahu” atau “wallau a’lam” atau “nanti saya cuba buka kitabnya dan cari lagi jawabannya” daripada asal menjawab dan mengikuti selera serta hawa nafsu sendiri dalam menjawab. Allah s.w.t. menegaskan dalam surat al-Isra ayat 36:


A036


"Dan janganlah engkau mengikut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan mengenainya; sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta hati, semua anggota-anggota itu tetap akan ditanya tentang apa yang dilakukannya."


Beberapa ulama zaman sekarang merasa malu jika menjawab “tidak tahu” saat ditanya oleh jamaahnya kerana akan terlihat tidak berilmu atau tidak pintar. Hal ini yang harus diperhatikan, tidak boleh menjawab suatu perkara agama yang jawabannya berasal dari selera dan hawa nafsu atau jawaban kira-kira kerana dapat menyesatkan.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Your Website Title
How to Share With Just Friends

How to share with just friends.

Posted by Facebook on Friday, December 5, 2014